BANDUNG, SEATIZENS – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menegaskan bahwa konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel berpotensi besar mendorong lonjakan harga minyak dunia. Menurutnya, sekitar 20 persen konsumsi minyak global disalurkan melalui Selat Hormuz, yang kini terancam ditutup akibat eskalasi perang.
“Jika perang ini berlarut-larut tentu tren harga minyak dunia akan naik, karena sekitar 20 persen konsumsi minyak global didistribusikan melalui Selat Hormuz. Bagi perdagangan global akan semakin menyulitkan distribusi barang dan harga akan naik, inflasi global bisa meningkat,” ujar Eko Listiyanto di Jakarta, Senin.
Selat Hormuz sendiri dikenal sebagai salah satu jalur laut vital bagi pasokan energi dunia. Pada Minggu (22/6), Parlemen Republik Islam Iran telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz untuk seluruh pelayaran, sebagai respons atas serangan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Keputusan final terkait penutupan ini masih menunggu persetujuan Dewan Keamanan Tertinggi Nasional Iran.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan bahwa militer Amerika Serikat telah menyerang tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Serangan tersebut terjadi di tengah memanasnya situasi akibat agresi militer Israel ke Iran sejak 13 Juni lalu, yang didukung penuh oleh AS dan memicu respons balasan dari pihak Iran.
Ekonom Indef Dampak perang ini tidak hanya dirasakan secara global, namun juga berimbas pada perekonomian Indonesia. Eko Listiyanto mengingatkan bahwa kenaikan harga minyak dunia dapat menjadi ancaman bagi alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Meski demikian, hingga Jumat (20/6), kondisi masih relatif aman karena asumsi harga minyak dalam APBN sebesar 82 dolar AS per barel, sementara harga global masih di sekitar 77 dolar AS per barel.
“Kalau berkepanjangan, konflik ini bisa mengerek harga minyak, harga energi lainnya ikut naik, ujungnya ke daya dukung APBN untuk perekonomian, khususnya subsidi energi,” jelas Eko .
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran untuk memperkuat daya beli masyarakat. “Dengan itu, setidaknya dari sisi domestik masih ada permintaan yang besar sehingga ekonomi tetap bisa bertahan,” tambah Eko.
BACA JUGA:No More War! Suasana Demonstrasi di AS Tolak Keterlibatan Amerika dalam Konflik Israel-Iran
Berdasarkan data Anadolu Agency, potensi penutupan Selat Hormuz sangat krusial karena jalur ini menangani hampir 15 juta barel minyak mentah setiap hari, atau sekitar sepertiga dari perdagangan minyak global. Jika jalur ini benar-benar ditutup, pasokan minyak dunia akan terganggu parah dan harga bisa melonjak tajam, memperberat beban ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.
(Mahendra)