Ekonom: Penerapan PPN 12 Persen Harus Dibarengi Perbaikan Tata Kelola Pajak

Ekonom: Penerapan PPN 12 Persen Harus Dibarengi Perbaikan Tata Kelola Pajak

SEATIZENS.id – Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen, yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025, harus disertai dengan perbaikan tata kelola pemerintah, khususnya di sektor perpajakan.

Menurutnya, meskipun kenaikan tarif PPN dapat dipahami dalam konteks situasi fiskal yang berat, langkah tersebut bukanlah pilihan yang ideal.

“Rendahnya tax ratio kita lebih disebabkan oleh tax base yang sempit, korupsi sektor pajak yang prevalent, dan ketaatan membayar pajak yang rendah. Kenaikan tarif PPN ini saya lihat murni untuk mengamankan fiskal kita, terutama menghadapi situasi berat pada 2025 dan 2026,” ujar Wijayanto, melansir Antara Rabu (17/12/2024).

Insentif Diperlukan untuk Jaga Daya Beli

Wijayanto menilai pemberian insentif oleh pemerintah merupakan langkah yang tepat untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat.

Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan insentif sangat bergantung pada implementasinya di lapangan. Semakin kompleks insentif yang diberikan, semakin rumit pula penerapannya.

“Insentif tidak akan berjalan dengan baik jika target penerima tidak memahaminya. Pemerintah perlu mengkomunikasikan kebijakan ini dengan baik kepada pengusaha dan masyarakat, agar mereka tergerak untuk memanfaatkannya, sehingga ekonomi bisa terus berputar,” jelas Wijayanto.

BACA JUGA: Presiden Prabowo : Penerapan PPN sesuai UU dan selektif

Perbedaan Situasi Ekonomi 2022 dan 2024

Menanggapi pernyataan pemerintah bahwa ekonomi Indonesia berjalan dengan baik pada 2022 meskipun tarif PPN hanya 11 persen, Wijayanto menilai situasi tahun 2024 dan 2022 tidak bisa disamakan. Pada 2022, Indonesia dan dunia baru pulih dari pandemi COVID-19, sehingga permintaan belanja melonjak, dan masyarakat memanfaatkan berbagai benefit yang diterima saat pandemi. Namun, pada 2024, ekonomi dunia sedang melambat, dan daya beli masyarakat Indonesia mulai melemah.

“Efek pasca kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS, atau Trump effect, akan segera muncul, dan daya beli masyarakat kita sedang lemah. Oleh karena itu, insentif sangat diperlukan untuk mengantisipasi hal ini,” lanjut Wijayanto.

Prinsip Keadilan dalam Kebijakan

Wijayanto juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam kebijakan pemerintah. Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN dan UMP menguntungkan pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pengusaha. Selain itu, stimulus-stimulus baru yang dikeluarkan pemerintah belum memberikan manfaat langsung yang jelas bagi para pengusaha.

“Saat ini, para pengusaha sedang sangat kesulitan. Jangan sampai mereka merasa pesimis dan enggan berinvestasi, bahkan cenderung melakukan divestasi. Jika ini terjadi, akan sangat berat bagi ekonomi kita,” ujar Wijayanto.

Ia menyarankan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang juga pro terhadap pengusaha, sehingga mereka tetap memiliki kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia.

“Jika pengusaha dalam negeri saja malas berinvestasi dan justru ingin keluar, bagaimana kita bisa meyakinkan investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia?” tukasnya.

(Mars)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *