SEATIZENS.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan dukungannya terhadap wacana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Hal itu disampaikan Tito saat ditemui di Istana Kepresidenan, Senin (16/12), dengan alasan bahwa mekanisme tersebut dapat menghemat biaya besar yang selama ini diperlukan untuk pilkada langsung.
“Saya sependapat, kita bisa melihat bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi beberapa daerah kerap mengalami konflik dalam prosesnya. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah pilkada asimetris, di mana pemilihan dilakukan melalui DPRD,” ujar Tito.
Menurutnya, besarnya anggaran untuk Pilkada Serentak 2024 menjadi perhatian. Ia mencontohkan biaya lebih dari Rp1 triliun yang dikeluarkan untuk pemilihan gubernur di Jawa Barat saja. Anggaran tersebut dinilai bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan daerah lain yang membutuhkan.
Masuk Prolegnas 2025
Tito menjelaskan bahwa gagasan ini masih memerlukan kajian mendalam dari berbagai pihak, termasuk kementeriannya, DPR RI, dan para akademisi. Usulan tersebut juga telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 melalui revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.
“Kami akan membahas ini secara serius. Perlu ada kajian yang komprehensif agar langkah ini benar-benar bisa diterapkan tanpa mengorbankan prinsip demokrasi,” kata Tito.
BACA JUGA: Presiden Prabowo : Judi Online ancaman serius !
Presiden dan DPR Dukung Reformasi Sistem Politik
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto dalam acara HUT Ke-60 Partai Golkar juga menyinggung perlunya perbaikan sistem politik di Indonesia. Ia menilai bahwa demokrasi yang berjalan saat ini membutuhkan efisiensi agar tidak membebani anggaran negara.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Jazilul Fawaid. Ia mengusulkan agar pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi, bukan melalui pilkada langsung. Menurutnya, metode ini dapat menekan biaya besar yang harus dikeluarkan pemerintah.
“Bayangkan saja, biaya untuk pilkada di Jawa Barat bisa mencapai Rp1 triliun. Jika anggaran sebesar itu dialihkan ke daerah tertinggal seperti di NTT, dampaknya akan sangat signifikan bagi perekonomian,” ujar Jazilul.
Pro dan Kontra
Meski menawarkan efisiensi, wacana ini memicu perdebatan di masyarakat. Sebagian pihak khawatir pilkada melalui DPRD dapat mengurangi legitimasi kepala daerah di mata rakyat dan membuka peluang terjadinya politik transaksional.
Namun, pemerintah menyebut gagasan ini sebagai jawaban atas berbagai tantangan demokrasi di Indonesia, termasuk mahalnya biaya politik dan risiko konflik di daerah.
Rencananya, pembahasan lebih lanjut mengenai usulan pilkada melalui DPRD akan dilakukan pada awal 2025, bersamaan dengan pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada di DPR RI.
(Mars)